JENIS GANGGUAN GENERATOR

Macam-macam gangguan generator dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Gangguan listrik (electrical fault)

Jenis gangguan ini adalah gangguan listrik yang timbul dan terjadi pada bagian- bagian generator .Gangguan tersebut antara lain :

a. Hubung singkat tiga phasa

Gangguan ini mengakibatkan terjadinya arus lebih pada stator. Gangguan ini akan mengakibatkan loncatan bunga api dengan suhu yang tinggi yang akan melelehkan belitan yang selanjutnya dapat mengakibatkan kebakaran jika isolasi tidak terbuat dari bahan yang anti api (non-flamable).

b. Hubung singkat dua phasa (unballance fault)

Gangguan hubung singkat dua phasa lebih berbahaya dibandingkan hubung sungkat tiga phasa, karena disamping terjadi kerusakan pada belitan akan timbul pula vibrasi pada kumparan stator. Kerusakan lain yang timbul dapat terjadi pada poros turbin akibat adanya momen puntir yang besar.

c. Stator hubung singkat satu phasa ke tanah (stator ground fault)

Kerusakan akibat gangguan dua phasa atau antara konduktor kadang-kadang masih dapat diperbaiki dengan menyambung (tapping) atau mengganti sebagian konduktor yang rusak, tetapi gangguan satu phasa ke tanah menimbulkan bunga api yang merusak isolasi lilitan stator dan sekaligus inti besi. Kerusakan inti besi stator adalah kerusakan serius yang perbaikannya harus dilakukan secara total. Gangguan jenis ini meskipun kecil harus segera diproteksi.

d. Rotor hubung tanah (rotor ground fault)

Pada rotor generator yang belitannya terhubung ketanah, maka akan terjadi kehilangan arus pada sebagian belitan yang terhubung singkat melalui tanah. Akibatnya terjadi ketidak seimbangan fluks yang menimbulkan vibrasi yang berlebihan dan kerusakan fatal pada rotor.

e. Kehilangan medan penguat (loss of excitation fault)

Kehilangan penguat medan akan membuat putaran mesin naik dan generator berubah fungsi sebagai generator induksi. Kondisi ini akan berakibat pemanasan lebih pada rotor dan pasak (slot wedges), akibat arus induksi yang bersikulasi pada rotor.

Kehilangan medan penguat dapat dimungkinkan oleh :

1) terbukanya saklar penguat (trip),

2) hubung singkat pada belitan penguat,

3) kerusakan kontak-kontak sikat arang pada sistem penguat,

4) kerusakan pada sistem AVR.

f. Tegangan lebih (over voltage)

Lonjakan tegangan hingga melampaui batas maksimum yang diijinkan dapat berakibat tembusnya (breakdown) isolasi lilitan stator yang akhirnya menimbulkan hubung singkat antar belitan. Tegangan lebih dapat dimungkinkan oleh putaran lebih (over speed) atau kerusakan pada pengatur tegangan otomatis (AVR).

2. Gangguan mekanik / panas (Mechanical or thermal fault)

Sebagian besar (lebih dari 50 %) tripnya PMT Generator disebabkan oleh gangguan mesin penggerak generator, karena pada instalasi yang ada di pembangkit tidak terbuka terhadap lingkungan, sehingga terlindung terhadap petir. Dengan adanya block transformer dengan hubungan Y-Ñ, mencegah arus gangguan urutan dari saluran transmissi masuk ke generator. Dengan demikian gangguan mekanik yang terjadi antara lain :

a. Generator berfungsi sebagai motor (motoring)

Motoring adalah peristiwa perubahan fungsi generator menjadi motor akibat daya balik (Reverse Power), yang disebabkan oleh turunnya daya masukan dari penggerak utama (prime mover). Dampak kerusakan akibatnya peristiwa motoring akan mengakibatkan kerusakan pada penggerak mula itu sendiri. Sedangkan pada turbin air motoring akan mengakibatkan kavitasi pada sudu-sudu turbin.

b. Pemanasan lebih setempat

Pemanasan lebih setempat pada bagian stator disebabkan oleh :

1) Kerusakan terminal-terminal dan laminasi.

2) Kendornya bagian-bagian didalam generator seperti pasak-pasak stator.

3) Belitan kotor atau yang menumpuk pada belitan

4) Sistem pendingin udara kurang baik

c. Kesalahan dalam mem-paralel generator

Kesalahan dalam mem-paralel generator disebabkan karena syarat-syarat sinkronisasi tidak terpenuhi yang dapat mengakibatkan kerusakan pada bagian poros dan kopling generator serta dapat merusakkan penggerak mulanya karena terjadi momen puntir. Kemungkinan lain yang dapat timbul adalah kerusakan PMT dan kerusakan pada kumparan stator akibat adanya kenaikan tegangan sesaat.

d. Gangguan pendingin stator

Gangguan pada sistem pendingin stator akan menaikkan suhu lilitan stator, jika berlangsung ketika generator sedang beroperasi dan dalam jangka waktu yang lama dapat merusak isolasi lilitan stator.

3. Gangguan system ( system fault )

Terganggunya generator dapat mengakibatkan terganggu pula sistem tenaga listrik secara keseluruhan.

a. frekwensi operasi yang tidak normal (Abnormal frequency operation)

Perubahan frekwensi hingga diluar batas-batas normal dapat berakibat terjadinya ketidakstabilan pada turbin generator. Perubahan frekwensi sistem dapat disebabkan oleh karena trip-nya unit-unit pembangkit atau pada penghantar / Transmisi.

b. lepas sinkron (loss of synchron)

Adanya gangguan sistem akibat perubahan beban-beban secara mendadak, switching, hubung singkat, dan peristiwa lainnya yang cukup besar akan menimbulkan ketidak stabilan sistem. Apabila peristiwa ini cukup lama dan melampaui batas ketidak stabilan generator, maka generator akan kehilangan kondisi paralel. Keadaan ini akan menghasilkan arus puncak yang tinggi dan penyimpangan frekwensi operasi keluar dari yang seharusnya, sehingga akan mengakibatkan stress pada belitan generator, gaya puntir yang berfluktuasi, dan resonansi yang akan merusak turbin generator. Pada kondisi ini generator harus dilepaskan dari system karena akan mengakibatkan meluasnya kerusakan.

c. Pengaman cadangan (back-up protection)

Kegagalan fungsi proteksi didepan generator pada saat terjadi gangguan di sistem akan menyebabkan gangguan masuk dan dirasakan oleh generator. Untuk ini perlu dipasang pengaman cadangan (back-up protection).

d. Arus beban yang tidak seimbang (unballance armature current)

Pembebanan yang tidak seimbang pada sistem atau adanya gangguan satu phasa pada sistem dapat menyebabkan beban generator tidak seimbang kemudian akan menimbulkan arus urutan negatif. Arus urutan negatif yang melebihi akan menginduksikan arus medan ber-frekwensi rangkap dengan arah yang berlawanan dengan putaran rotor dan akan menginduksikan arus pada rotor yang akan menyebabkan adanya pemanasan lebih dan dapat merusakkan bagian-bagian rotor.

e. Saluran transmisi

Gangguan pada sistem saluran transmisi yang paling utama disebabkan oleh karena petir. Dilihat dari sifat gangguannya, lebih dari 90 % saluran udara transmisi bersifat temporer dan lebih dari 90% saluran kabel tanah transmisi bersifat gangguan permanen. Dilihat dari phasa yang terganggu, lebih dari 90 % gangguan temporer adalah gangguan satu phasa ke tanah. Gangguan permanen pada saluran udara umumnya terjadi karena kerusakan isolator atau kawat putus ke tanah dan bersifat satu phasa ke tanah, sedangkan pada saluran kabel tanah lebih dari 90 % gangguan disebabkan karena tekanan mekanis dari luar atau karena kelalaian pemasangan dan ini bersifat gangguan antar phasa atau phasa-phasa ke tanah.

Rabu, 13 April 2011

Selasa, 23 Juni 2009

TUANKU KISA-I AL-MINANKABAWI

TUANKU KISA-I AL-MINANKABAWI

Lahirkan Tokoh Besar Hamka Oleh WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH

NAMA lengkap ‘Tuan Kisa-i’ ialah Syeikh Muhammad Amrullah Tuanku Abdullah Saleh. Ia inilah yang melahirkan dua orang tokoh besar di dunia Melayu. Yang seorang ialah anak beliau sendiri, Dr. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah. Dan yang seorang lagi ialah cucu beliau, Syeikh Abdul Malik Karim Amrullah. Cucunya sangat terkenal walaupun tanpa melalui pendidikan tinggi formal dan diberi gelaran Professor Doctor (Prof. Dr.). Cucunya itu lebih dikenali sebagai ‘Prof. Dr. Hamka’ atau nama mesra yang dipanggil orang, ‘Buya Hamka’.

Saya sempat bertemu Buya Hamka pada Februari 1971 di rumahnya di Kemayoran Baru, Jakarta. Selain hampir semua karangan beliau sempat dibaca, saya juga berpeluang mendengar ucapan lisan beliau secara berdepan.

Apabila kita menyelusuri karakter ketiga-tiga mereka, bermula dengan perjuangan datuk (Tuan Kisa-i), ayah (Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah) dan cucu (Buya Hamka) secara global dalam penyebaran Islam, kita akan menemui persamaan.

Walau bagaimanapun, pegangan dalam pemahaman dan langkah-langkah perjuangan mereka terdapat perbezaan-perbezaan yang begitu ketara. Tuan Kisa-i tetap mengamal Thariqat Naqsyabandiyah, istiqamah mengikut Mazhab Syafie. Pemahaman Islam Tuan Kisa-i sama dengan pegangan ‘Kaum Tua’, tetapi pada zaman beliau istilah ‘Kaum Tua’ dan ‘Kaum Muda’ belum tersebar luas.

Anak beliau, Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah, adalah seorang pelopor dan termasuk tokoh besar dalam perjuangan ‘Kaum Muda’. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah menolak amalan Thariqat Naqsyabandiyah, sekali gus menolak ikatan ‘taqlid’, tetapi lebih cenderung kepada pemikiran Syeikh Muhammad Abduh.

Buya Hamka sukar dinilai orang, kerana dalam beberapa tulisan kadang-kadang mengecam ‘Kaum Tua’, kadang-kadang membenarkannya. Demikian halnya dengan ‘Kaum Muda’. Bahkan dalam penilaian tasawuf, Buya Hamka adalah bersifat sederhana. Buya Hamka sebagai seorang ‘ilmuwan’ perlu ditempatkan pada tempat baik dan bijak, namun tidak dapat dinafikan ada golongan ‘Kaum Tua’ menyetujuinya di tengah-tengah ramai ulama yang mengecam beliau. Demikian halnya pihak ‘Kaum Muda’ lebih ramai yang menyetujuinya terutama setiakawan dalam satu organisasi Muhammadiyah. Sungguhpun demikian, pihak ‘Kaum Muda’ ada juga yang tidak bersetuju dengan jalan pemikiran Buya Hamka.

[sunting] Asal usul

Artikel ini tidak memfokuskan kepada Dr. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah dan Buya Hamka tetapi menjurus kepada kisah Tuan Kisa-i atau Syeikh Muhammad Amrullah yang lahir pada malam Khamis 6 Rejab 1256 H/4 September 1840 M. Ia wafat pada 1327 H/1909 M. Sebagaimana telah disebut di atas, nama ayahnya ialah Tuanku Abdullah Saleh. Tuanku Abdullah Saleh digelar ‘Tuanku Syeikh Guguk Katur’ dan digelar juga ‘Ungku Syeikh Tanjung’. Ia ialah seorang alim murid Abdullah Arif. Abdullah Arif digelar juga dengan nama ‘Tuanku Pariaman’ dan ‘Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, IV Koto’.

Buya Hamka menulis, yang didengar daripada ayahnya, tentang Tuanku Abdullah Saleh: ‘’Kata ayah saya: ‘Engku Syeikh Suku Tanjung atau Tuanku Guguk Katur itu adalah seorang ulama yang sangat besar perhatiannya kepada Ilmu Tasawuf sehingga kitab Hikam Ibnu 'Athaillah beliau hafal di luar kepala. Ia pun seorang cerdik ahli adat, sehingga bukan saja urusan agama yang ditanyakan orang kepada beliau, bahkan juga urusan adat’. Tambah ayahku pula: ‘Pelajaran Imam al-Ghazali tentang khalawat sangat termakan oleh beliau Tuanku Syeikh Guguk Katur atau Engku Suku Tanjung itu. Lantaran itu beliau lebih suka berkhalawat di suraunya di Guguk Katur’.’’ (Lihat Ayahku cetakan ketiga, Djajamurni, Jakarta, 1963, hlm. 46.) Selanjutnya Buya Hamka menulis, ‘’Kepada murid yang soleh inilah tertarik hati gurunya Tuanku Syeikh Pariaman, sehingga setelah anaknya Siti Saerah menjadi gadis remaja, beliau ambillah Tuanku Suku Tanjung itu menjadi menantu.’’ (Lihat Ayahku, hlm. 46-47.)

Daripada petikan di atas dapat disimpulkan bahawa kedua-dua belah pihak, sama ada daripada pihak ibu mahupun daripada pihak ayah, Syeikh Muhammad Amrullah adalah ulama dan tokoh yang terkenal dalam masyarakat. Datuk beliau, atau ayah ibunya, Abdullah Arif atau ‘Tuanku Pariaman’ atau ‘Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, IV Koto’ adalah salah seorang yang menyebarkan Islam di beberapa tempat di Minangkabau dan merupakan pahlawan yang gigih melawan Belanda dalam Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.

Hendaklah diperhatikan bahawa Abdullah Arif yang disebut di sini bukan Syeikh Abdullah Arif pengarang kitab Bahr al-Lahut, penyebar Islam di Aceh pada abad ke-12 dan 13 M. Belum diketahui apakah Abdullah Arif (datuk Syeikh Muhammad Amrullah) keturunan Syeikh Abdullah Arif (di Aceh). Yang dapat dipastikan nama itu serupa bagi mengambil sempena daripada nama Syeikh Abdullah Arif (di Aceh). Ibu Muhammad Amrullah bernama Siti Saerah yang merupakan anak kepada Abdullah Arif, ulama dan pahlawan yang terkenal itu. Hanya sampai pada Abdullah Arif (daripada pihak sebelah ibu) datuk Syeikh Muhammad Amrullah saja yang dapat diketahui. Daripada sebelah pihak laki-laki pula hanya diketahui nama ayahnya, iaitu Tuanku Abdullah Saleh. Nama lebih atas daripada yang tersebut belum diketahui. Sungguhpun demikian sudah cukup diketahui bahawa kedua-dua ayah dan ibunya itu memang ulama dan tokoh yang cukup besar pengaruh pada zamannya.

[sunting] Pendidikan

Mendapat pendidikan awal daripada datuk atau nenek sendiri secara tradisi di Minangkabau, Buya Hamka menulis, ‘’Setelah cucunya itu berusia 14 tahun, setelah khatam mengaji al-Quran dengan ayahnya, Tuanku Syeikh Pariaman memesankan supaya cucunya itu dihantarkan ke Koto Tuo, kerana beliau sendiri yang hendak mengajarnya ilmu-ilmu agama. Bersama saudara sepupunya Tuanku Sutan, Muhammad Amrullah belajar Nahwu, Sharaf, Manthiq, Ma'ani, Tafsir dan Fiqh kepada neneknya.’’ (Lihat Ayahku, hlm. 42.)

Yang disebut oleh Buya Hamka dalam tulisan beliau hanya enam jenis mata pelajaran yang dipelajari daripada datuknya Syeikh Muhammad Amrullah. Saya tidak pasti apa sebab ada dua mata pelajaran yang mesti diajar dalam metod tradisional dunia Melayu dan dunia Islam lainnya pada zaman itu yang tidak disentuh oleh Buya Hamka.

Kedua-dua mata pelajaran yang saya maksudkan itu ialah ‘Ilmu Akidah’ dan ‘Ilmu Tasawuf’. Saya tidak yakin Syeikh Muhammad Amrullah tidak menguasai kedua-dua ilmu yang tersebut kerana pada zaman itu kedua-dua ilmu tersebut merupakan perkara Fardu Ain. Selain itu oleh kerana Syeikh Muhammad Amrullah adalah termasuk salah seorang pengamal Thariqat Naqsyabandiyah, setiap pengamal thariqat mestilah faham ilmu tasawuf dalam erti kata yang syumul. Kerana thariqat adalah bahagian kecil daripada tasawuf.

Apakah kedua-dua mata pelajaran itu memang kurang mendapat perhatian di Minangkabau ataupun datuk beliau Syeikh Muhammad Amrullah telah mempelajari kedua-dua itu daripada ayahnya Tuanku Abdullah Saleh? Tuanku Abdullah Saleh diakui oleh Buya Hamka sendiri dan ayahnya Syeikh Abdul Karim Amrullah tentang beliau hafal kitab Hikam Ibni 'Athaillah dan suka berkhalawat mengikut anjuran Imam al-Ghazali. Perlu saya tambah bahawa ‘khalawat’ di sini bukan pendapat Imam al-Ghazali, tetapi ulasan lanjut Imam al-Ghazali daripada sabda Nabi Muhammad s.a.w..

Mengenai guru-gurunya di Mekah, Buya Hamka menulis, ‘’Beliau berguru kepada Sayid Zaini Dahlan, ulama Mekah yang terkenal, dan berguru juga kepada Syeikh Muhammad Hasbullah dan beberapa ulama yang lain. Ia juga belajar dengan Syeikh Ahmad Khatib dan Syeikh Tahir Jalaluddin yang usianya lebih muda daripada beliau. Sayang sekali ayahku tidak memberikan catatan tahun berapa beliau ke Mekah yang pertama itu.’’ (Lihat Ayahku, hlm. 49.)

Kedua-dua ulama bangsa Arab, Sayid Ahmad Zaini Dahlan dan Syeikh Muhammad Hasbullah, yang disebutkan oleh Buya Hamka di atas adalah guru bagi hampir semua ulama dunia Melayu. Selain Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif al-Minankabawi termasuk juga Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani. Saya masih meragui tulisan Buya Hamka yang menyebut nama Syeikh Tahir Jalaluddin kerana dalam catatan Syeikh Tahir Jalaluddin beliau hanya menyebut berguru kepada Sayid Umar Syatha. Tentang Syeikh Tahir Jalaluddin belajar daripada Syeikh Ahmad Khatib memang ada banyak sumber.

Kedudukan Syeikh Tahir Jalaluddin sebagai murid Syeikh Ahmad al-Fathani dapat diketahui daripada surat menyurat timbal balik antara Syeikh Ahmad al-Fathani (di Mekah) dengan Syeikh Tahir Jalaluddin (di Al-Azhar, Kaherah, Mesir). Baik Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi mahupun Syeikh Ahmad al-Fathani, kedua-duanya memang jauh lebih muda daripada Syeikh Muhammad Amrullah (Tuan Kisa-i).

Pada usia 26 tahun (1282 H/1864 M), Syeikh Muhammad Amrullah telah diberi ijazah dan tugas mengajar oleh datuknya, Abdullah Arif atau Tuanku Pariaman atau Tuanku Nan Tuo di kampungnya. Ilmu-ilmu yang diajarkan, menurut Buya Hamka, ialah Ilmu Tafsir, Fiqh, Tasawuf, dan ilmu-ilmu alat, iaitu Nahwu, Sharaf, Manthiq, Ma'ani, Bayan, Badi’. (Lihat Ayahku, hlm. 48.)

[sunting] Pandangan

Syeikh Muhammad Amrullah (Tuan Kisa-i) mengalami lapan kali perkahwinan, dan bilangan kesemua anak beliau ialah seramai 46 orang. Anak beliau adik-beradik seibu sebapa dengan Dr. Syeikh Abdul Karim Amrullah yang disebut oleh Buya Hamka dalam buku beliau, Ayahku, ada seramai tujuh orang. Adik-beradik daripada satu ayah disebut ada 10 orang.

Sungguhpun antara anak dan cucu beliau terdapat beberapa orang yang masyhur namanya, saya tinggalkan saja kerana sudah cukup diwakili oleh Dr. Syeikh Abdul Karim Amrullah (anak) dan Prof. Dr. Hamka (cucu) yang kemasyhurannya sangat diketahui ramai pada zamannya. Kekeluargaan yang sedang dibicarakan ini bukanlah merupakan satu-satunya keluarga ulama dunia Melayu yang dapat mempertahankan beberapa generasi menjadi ulama, tetapi turut berlaku dalam keluarga Syeikh Daud Abdullah al-Fathani, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan lain-lain. Bahawa sangat berbahagia dunia dan akhirat bagi seseorang ulama yang berhasil mendidik anak, cucu, dan keturunannya menjadi ulama pula.

Saya berpendapat walaupun Syeikh Muhammad Amrullah, ayahnya Tuanku Abdullah Saleh dan datuknya (ayah kepada ibunya) Syeikh Abdullah Arif berpegang mengikut aliran ‘Kaum Tua’, sedangkan anak beliau Dr. Syeikh Abdul Karim Amrullah dan cucunya Prof. Dr. Hamka dikatakan orang sebagai pelopor ‘Kaum Muda’ atau di pihak yang lain dikatakan pembawa fahaman ‘Wahabi’, namun mereka adalah jauh lebih baik jika dibandingkan anak atau cucu ulama yang tidak berjuang untuk kepentingan Islam.

Menjulang tinggi kemasyhuran nama di dunia ini tiadalah bermakna dan bererti di akhirat nanti sekiranya ia lalai atau tidak mempedulikan kepentingan Islam. Tertipulah ia kerana mendahulukan urusan hidup di dunia yang sekejap, lalu mengabaikan urusan hidup di akhirat yang kekal abadi.

TUANKU KISA-I AL-MINANKABAWI

TUANKU KISA-I AL-MINANKABAWI

Lahirkan Tokoh Besar Hamka Oleh WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH

NAMA lengkap ‘Tuan Kisa-i’ ialah Syeikh Muhammad Amrullah Tuanku Abdullah Saleh. Ia inilah yang melahirkan dua orang tokoh besar di dunia Melayu. Yang seorang ialah anak beliau sendiri, Dr. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah. Dan yang seorang lagi ialah cucu beliau, Syeikh Abdul Malik Karim Amrullah. Cucunya sangat terkenal walaupun tanpa melalui pendidikan tinggi formal dan diberi gelaran Professor Doctor (Prof. Dr.). Cucunya itu lebih dikenali sebagai ‘Prof. Dr. Hamka’ atau nama mesra yang dipanggil orang, ‘Buya Hamka’.

Saya sempat bertemu Buya Hamka pada Februari 1971 di rumahnya di Kemayoran Baru, Jakarta. Selain hampir semua karangan beliau sempat dibaca, saya juga berpeluang mendengar ucapan lisan beliau secara berdepan.

Apabila kita menyelusuri karakter ketiga-tiga mereka, bermula dengan perjuangan datuk (Tuan Kisa-i), ayah (Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah) dan cucu (Buya Hamka) secara global dalam penyebaran Islam, kita akan menemui persamaan.

Walau bagaimanapun, pegangan dalam pemahaman dan langkah-langkah perjuangan mereka terdapat perbezaan-perbezaan yang begitu ketara. Tuan Kisa-i tetap mengamal Thariqat Naqsyabandiyah, istiqamah mengikut Mazhab Syafie. Pemahaman Islam Tuan Kisa-i sama dengan pegangan ‘Kaum Tua’, tetapi pada zaman beliau istilah ‘Kaum Tua’ dan ‘Kaum Muda’ belum tersebar luas.

Anak beliau, Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah, adalah seorang pelopor dan termasuk tokoh besar dalam perjuangan ‘Kaum Muda’. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah menolak amalan Thariqat Naqsyabandiyah, sekali gus menolak ikatan ‘taqlid’, tetapi lebih cenderung kepada pemikiran Syeikh Muhammad Abduh.

Buya Hamka sukar dinilai orang, kerana dalam beberapa tulisan kadang-kadang mengecam ‘Kaum Tua’, kadang-kadang membenarkannya. Demikian halnya dengan ‘Kaum Muda’. Bahkan dalam penilaian tasawuf, Buya Hamka adalah bersifat sederhana. Buya Hamka sebagai seorang ‘ilmuwan’ perlu ditempatkan pada tempat baik dan bijak, namun tidak dapat dinafikan ada golongan ‘Kaum Tua’ menyetujuinya di tengah-tengah ramai ulama yang mengecam beliau. Demikian halnya pihak ‘Kaum Muda’ lebih ramai yang menyetujuinya terutama setiakawan dalam satu organisasi Muhammadiyah. Sungguhpun demikian, pihak ‘Kaum Muda’ ada juga yang tidak bersetuju dengan jalan pemikiran Buya Hamka.

[sunting] Asal usul

Artikel ini tidak memfokuskan kepada Dr. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah dan Buya Hamka tetapi menjurus kepada kisah Tuan Kisa-i atau Syeikh Muhammad Amrullah yang lahir pada malam Khamis 6 Rejab 1256 H/4 September 1840 M. Ia wafat pada 1327 H/1909 M. Sebagaimana telah disebut di atas, nama ayahnya ialah Tuanku Abdullah Saleh. Tuanku Abdullah Saleh digelar ‘Tuanku Syeikh Guguk Katur’ dan digelar juga ‘Ungku Syeikh Tanjung’. Ia ialah seorang alim murid Abdullah Arif. Abdullah Arif digelar juga dengan nama ‘Tuanku Pariaman’ dan ‘Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, IV Koto’.

Buya Hamka menulis, yang didengar daripada ayahnya, tentang Tuanku Abdullah Saleh: ‘’Kata ayah saya: ‘Engku Syeikh Suku Tanjung atau Tuanku Guguk Katur itu adalah seorang ulama yang sangat besar perhatiannya kepada Ilmu Tasawuf sehingga kitab Hikam Ibnu 'Athaillah beliau hafal di luar kepala. Ia pun seorang cerdik ahli adat, sehingga bukan saja urusan agama yang ditanyakan orang kepada beliau, bahkan juga urusan adat’. Tambah ayahku pula: ‘Pelajaran Imam al-Ghazali tentang khalawat sangat termakan oleh beliau Tuanku Syeikh Guguk Katur atau Engku Suku Tanjung itu. Lantaran itu beliau lebih suka berkhalawat di suraunya di Guguk Katur’.’’ (Lihat Ayahku cetakan ketiga, Djajamurni, Jakarta, 1963, hlm. 46.) Selanjutnya Buya Hamka menulis, ‘’Kepada murid yang soleh inilah tertarik hati gurunya Tuanku Syeikh Pariaman, sehingga setelah anaknya Siti Saerah menjadi gadis remaja, beliau ambillah Tuanku Suku Tanjung itu menjadi menantu.’’ (Lihat Ayahku, hlm. 46-47.)

Daripada petikan di atas dapat disimpulkan bahawa kedua-dua belah pihak, sama ada daripada pihak ibu mahupun daripada pihak ayah, Syeikh Muhammad Amrullah adalah ulama dan tokoh yang terkenal dalam masyarakat. Datuk beliau, atau ayah ibunya, Abdullah Arif atau ‘Tuanku Pariaman’ atau ‘Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, IV Koto’ adalah salah seorang yang menyebarkan Islam di beberapa tempat di Minangkabau dan merupakan pahlawan yang gigih melawan Belanda dalam Perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol.

Hendaklah diperhatikan bahawa Abdullah Arif yang disebut di sini bukan Syeikh Abdullah Arif pengarang kitab Bahr al-Lahut, penyebar Islam di Aceh pada abad ke-12 dan 13 M. Belum diketahui apakah Abdullah Arif (datuk Syeikh Muhammad Amrullah) keturunan Syeikh Abdullah Arif (di Aceh). Yang dapat dipastikan nama itu serupa bagi mengambil sempena daripada nama Syeikh Abdullah Arif (di Aceh). Ibu Muhammad Amrullah bernama Siti Saerah yang merupakan anak kepada Abdullah Arif, ulama dan pahlawan yang terkenal itu. Hanya sampai pada Abdullah Arif (daripada pihak sebelah ibu) datuk Syeikh Muhammad Amrullah saja yang dapat diketahui. Daripada sebelah pihak laki-laki pula hanya diketahui nama ayahnya, iaitu Tuanku Abdullah Saleh. Nama lebih atas daripada yang tersebut belum diketahui. Sungguhpun demikian sudah cukup diketahui bahawa kedua-dua ayah dan ibunya itu memang ulama dan tokoh yang cukup besar pengaruh pada zamannya.

[sunting] Pendidikan

Mendapat pendidikan awal daripada datuk atau nenek sendiri secara tradisi di Minangkabau, Buya Hamka menulis, ‘’Setelah cucunya itu berusia 14 tahun, setelah khatam mengaji al-Quran dengan ayahnya, Tuanku Syeikh Pariaman memesankan supaya cucunya itu dihantarkan ke Koto Tuo, kerana beliau sendiri yang hendak mengajarnya ilmu-ilmu agama. Bersama saudara sepupunya Tuanku Sutan, Muhammad Amrullah belajar Nahwu, Sharaf, Manthiq, Ma'ani, Tafsir dan Fiqh kepada neneknya.’’ (Lihat Ayahku, hlm. 42.)

Yang disebut oleh Buya Hamka dalam tulisan beliau hanya enam jenis mata pelajaran yang dipelajari daripada datuknya Syeikh Muhammad Amrullah. Saya tidak pasti apa sebab ada dua mata pelajaran yang mesti diajar dalam metod tradisional dunia Melayu dan dunia Islam lainnya pada zaman itu yang tidak disentuh oleh Buya Hamka.

Kedua-dua mata pelajaran yang saya maksudkan itu ialah ‘Ilmu Akidah’ dan ‘Ilmu Tasawuf’. Saya tidak yakin Syeikh Muhammad Amrullah tidak menguasai kedua-dua ilmu yang tersebut kerana pada zaman itu kedua-dua ilmu tersebut merupakan perkara Fardu Ain. Selain itu oleh kerana Syeikh Muhammad Amrullah adalah termasuk salah seorang pengamal Thariqat Naqsyabandiyah, setiap pengamal thariqat mestilah faham ilmu tasawuf dalam erti kata yang syumul. Kerana thariqat adalah bahagian kecil daripada tasawuf.

Apakah kedua-dua mata pelajaran itu memang kurang mendapat perhatian di Minangkabau ataupun datuk beliau Syeikh Muhammad Amrullah telah mempelajari kedua-dua itu daripada ayahnya Tuanku Abdullah Saleh? Tuanku Abdullah Saleh diakui oleh Buya Hamka sendiri dan ayahnya Syeikh Abdul Karim Amrullah tentang beliau hafal kitab Hikam Ibni 'Athaillah dan suka berkhalawat mengikut anjuran Imam al-Ghazali. Perlu saya tambah bahawa ‘khalawat’ di sini bukan pendapat Imam al-Ghazali, tetapi ulasan lanjut Imam al-Ghazali daripada sabda Nabi Muhammad s.a.w..

Mengenai guru-gurunya di Mekah, Buya Hamka menulis, ‘’Beliau berguru kepada Sayid Zaini Dahlan, ulama Mekah yang terkenal, dan berguru juga kepada Syeikh Muhammad Hasbullah dan beberapa ulama yang lain. Ia juga belajar dengan Syeikh Ahmad Khatib dan Syeikh Tahir Jalaluddin yang usianya lebih muda daripada beliau. Sayang sekali ayahku tidak memberikan catatan tahun berapa beliau ke Mekah yang pertama itu.’’ (Lihat Ayahku, hlm. 49.)

Kedua-dua ulama bangsa Arab, Sayid Ahmad Zaini Dahlan dan Syeikh Muhammad Hasbullah, yang disebutkan oleh Buya Hamka di atas adalah guru bagi hampir semua ulama dunia Melayu. Selain Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif al-Minankabawi termasuk juga Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani. Saya masih meragui tulisan Buya Hamka yang menyebut nama Syeikh Tahir Jalaluddin kerana dalam catatan Syeikh Tahir Jalaluddin beliau hanya menyebut berguru kepada Sayid Umar Syatha. Tentang Syeikh Tahir Jalaluddin belajar daripada Syeikh Ahmad Khatib memang ada banyak sumber.

Kedudukan Syeikh Tahir Jalaluddin sebagai murid Syeikh Ahmad al-Fathani dapat diketahui daripada surat menyurat timbal balik antara Syeikh Ahmad al-Fathani (di Mekah) dengan Syeikh Tahir Jalaluddin (di Al-Azhar, Kaherah, Mesir). Baik Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi mahupun Syeikh Ahmad al-Fathani, kedua-duanya memang jauh lebih muda daripada Syeikh Muhammad Amrullah (Tuan Kisa-i).

Pada usia 26 tahun (1282 H/1864 M), Syeikh Muhammad Amrullah telah diberi ijazah dan tugas mengajar oleh datuknya, Abdullah Arif atau Tuanku Pariaman atau Tuanku Nan Tuo di kampungnya. Ilmu-ilmu yang diajarkan, menurut Buya Hamka, ialah Ilmu Tafsir, Fiqh, Tasawuf, dan ilmu-ilmu alat, iaitu Nahwu, Sharaf, Manthiq, Ma'ani, Bayan, Badi’. (Lihat Ayahku, hlm. 48.)

[sunting] Pandangan

Syeikh Muhammad Amrullah (Tuan Kisa-i) mengalami lapan kali perkahwinan, dan bilangan kesemua anak beliau ialah seramai 46 orang. Anak beliau adik-beradik seibu sebapa dengan Dr. Syeikh Abdul Karim Amrullah yang disebut oleh Buya Hamka dalam buku beliau, Ayahku, ada seramai tujuh orang. Adik-beradik daripada satu ayah disebut ada 10 orang.

Sungguhpun antara anak dan cucu beliau terdapat beberapa orang yang masyhur namanya, saya tinggalkan saja kerana sudah cukup diwakili oleh Dr. Syeikh Abdul Karim Amrullah (anak) dan Prof. Dr. Hamka (cucu) yang kemasyhurannya sangat diketahui ramai pada zamannya. Kekeluargaan yang sedang dibicarakan ini bukanlah merupakan satu-satunya keluarga ulama dunia Melayu yang dapat mempertahankan beberapa generasi menjadi ulama, tetapi turut berlaku dalam keluarga Syeikh Daud Abdullah al-Fathani, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dan lain-lain. Bahawa sangat berbahagia dunia dan akhirat bagi seseorang ulama yang berhasil mendidik anak, cucu, dan keturunannya menjadi ulama pula.

Saya berpendapat walaupun Syeikh Muhammad Amrullah, ayahnya Tuanku Abdullah Saleh dan datuknya (ayah kepada ibunya) Syeikh Abdullah Arif berpegang mengikut aliran ‘Kaum Tua’, sedangkan anak beliau Dr. Syeikh Abdul Karim Amrullah dan cucunya Prof. Dr. Hamka dikatakan orang sebagai pelopor ‘Kaum Muda’ atau di pihak yang lain dikatakan pembawa fahaman ‘Wahabi’, namun mereka adalah jauh lebih baik jika dibandingkan anak atau cucu ulama yang tidak berjuang untuk kepentingan Islam.

Menjulang tinggi kemasyhuran nama di dunia ini tiadalah bermakna dan bererti di akhirat nanti sekiranya ia lalai atau tidak mempedulikan kepentingan Islam. Tertipulah ia kerana mendahulukan urusan hidup di dunia yang sekejap, lalu mengabaikan urusan hidup di akhirat yang kekal abadi.

Minggu, 24 Mei 2009